Dampak penghapusan subsidi BBM
Beban subsidi BBM yang semakin berat menggelayuti
keuangan negara, memicu pemikiran untuk mengurangi atau menghapuskan jenis
subsidi tersebut. Sejalan dengan pemikiran itu muncul beberapa pertanyaan
berikut;
Seberapa besar dampak penghapusan subsidi terhadap;
(i) masyarakat pengguna BBM menurut kelompok
pendapatan, kelompok tempat tinggal, maupun kelompok usaha,
(ii) perilaku struktural sektor ekonomi, dalam arti
multiplier effect dari perubahan penggunaan jenis BBM oleh sektor ekonomi
tertentu terhadap sektor ekonomi lainnya,
(iii) keuangan negara (penerimaan negara versus
pengeluaran negara), dan
(iv) daya saing dan peluang usaha bagi Pertamina?
Apakah subsidi BBM sebaiknya dicabut seluruhnya atau
dicabut sebagian (dikurangi), dan apakah subsidi BBM dicabut sekaligus atau
secara bertahap?
Jika subsidi dikurangi, jenis-jenis BBM mana saja yang
akan dihapus subsidinya? Jika subsidi dihapus secara bertahap, pentahapan
seperti apa yang sebaiknya ditempuh pemerintah? Bagaimana dampaknya terhadap
perekonomian dan efisiensi serta peluang usaha Pertamina?
Bagaimana setting pricing policy yang sebaiknya
ditempuh pemerintah dalam rangka mencapai kondisi optimal untuk perekonomian
maupun dalam rangka peningkatan daya saing dan peluang usaha Pertamina?
Pricing policy BBM yang ditempuh pemerintah saat ini,
menimbulkan paling tidak 5
bentuk dampak negatif, yaitu; (i) terjadi target error dalam pemberian subsidi
BBM, sebesar 25%, 40%, 35,2%, 92% dan 93% masing-masing untuk jenis premium,
solar, minyak tanah, minyak bakar dan minyak diesel; (ii) terjadi inefisiensi
dalam penggunaan dan penyelundupan BBM; (iii) beban APBN semakin berat; (iv)
terjadi distorsi harga pada barang dan jasa yang menggunakan BBM sebagai input
produksi; (v) Pertamina terhambat untuk melakukan ekspansi usaha.
Secara umum, penurunan subsidi BBM masih memiliki
dampak positif hingga tingkat penurunan 20%. Lebih dari itu, kenaikan harga BBM
sebagai implikasi dari penurunan subsidi akan menimbulkan berbagai dampak
negatif yang cukup besar terhadap makroekonomi, kesejahteraan rumah tangga
maupun aktifitas produksi dalam perekonomian sektoral. Namun demikian,
penyesuaian yang dilakukan konsumen dengan adanya penurunan subdisi BBM ini
akan menghasilkan dampak yang lebih positif dibandingkan jika tidak dilakukan
penyesuaian.
Berikut ini gambaran berbagai dampak dari penurunan
subsidi BBM sebesar 20% hasil simulasi model CGE INDORANI dengan mengasumsikan
adanya penyesuaian yang dilakukan oleh para pengguna BBM;
Pada aspek makroekonomi, terjadi;
(i) kenaikan inflasi sebesar 0,944%,
(ii) peningkatan PDB riil sebesar 0,029%,
(iii) peningkatan investasi sebesar 0,198%,
(iv) peningkatan kesempatan kerja sebesar 0,115%,
(v) peningkatan pengeluaran konsumsi rumah tangga riil
sebesar 0,183%,
(vi) peningkatan penerimaan pemerintah sebesar 4,572%,
(vii) peningkatan tabungan pemerintah sebesar 3,578%,
(viii) penurunan daya saing sebesar 1,104%,
(ix) penurunan ekspor sebesar 0,556%, dan
(x) peningkatan impor sebesar 0,993%.
Pada kelompok rumah tangga, kenaikan harga BBM hanya
berpengaruh negatif pada kelompok rumah tangga petani menengah dan kaya
(pemilik lahan >2 Ha) dengan menurunnya tingkat konsumsi riil masing-masing
sebesar 0,055% dan 0,127%. Hal ini dipengaruhi oleh tempat tinggal kelompok
tersebut yang umumnya terletak di desa-kecamatan, yangmana relatif sulit untuk
melakukan substitusi bahan bakar.
Pada perekonomian sektoral, aktivitas produksi
mengalami penurunan tetapi pada tingkat yang tidak terlalu signifikan atau
kurang dari 1% di hampir seluruh sektor produksi. Hal ini dipengaruhi oleh
proporsi komponen BBM terhadap total biaya produksi di sektor-sektor ekonomi
yang berkisar di bawah 1%.
Pada aspek peluang usaha bagi Pertamina, akan terjadi
peluang peningkatan konsumsi gas yang merupakan produk substitusi bagi
Industrial Diesel Oil (IDO), Automotive Diesel Oil (ADO) dan premium yang
selama ini memperoleh subsidi. Dengan memperhitungkan hasil simulasi pada
sektor produksi dan memperhatikan peluang pergeseran perilaku konsumen (antara
20% – 100%), utamanya pada sektor kelistrikan dan transportasi sebagai konsumen
terbesar, maka dalam jangka pendek konsumsi gas akan meningkat sebesar 1.614,7
juta MMBTU (jika 100% konsumen beralih ke gas) atau 968,8 juta MMBTU (jika 40%
konsumen beralih ke gas). Dalam jangka panjang peningkatan konsumsi gas sebesar
5.923,2 juta MMBTU (jika 100% konsumen beralih ke gas) atau 3.553,9 juta MMBTU
(jika 40% konsumen beralih ke gas). Implikasinya, penerimaan Pertamina juga
akan meningkat dalam jangka pendek sebesar Rp 793,5 milyar (jika 100% konsumen
beralih ke gas) atau Rp 317,4 milyar (jika 40% konsumen beralih ke gas), dan
dalam jangka panjang sebesar Rp 2,98 trilyun (jika 100% konsumen beralih ke
gas) atau Rp 1,19 trilyun (jika 40% konsumen beralih ke gas).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar