Antiklimaks Kebijakan BBM
Kenaikan
harga BBM yang rencananya berlaku 1 April 2012, gagal dilaksanakan. Melalui
rapat paripurna, DPR memutuskan tambahan Pasal 7 ayat 6a pada UU No 22 Tahun
2011 tentang APBN 2012. Intinya, pemerintah baru boleh mengubah harga BBM jika
harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) mengalami
perubahan sebesar 15 persen selama enam bulan. Bagi pemerintah yang sudah
bersiap-siap menaikkan harga BBM, keputusan tersebut menjadi sebuah
antiklimaks. Bagi partai oposisi dan para demonstran yang menolak pilihan
kenaikan BBM, tentu saja juga merupakan antiklimaks. Karena meskipun harga BBM
tidak jadi naik dalam waktu dekat, tetapi tetap terbuka kemungkinan sewaktu-
waktu harga BBM dinaikkan.
Meskipun
pada ranah legislasi masih terbuka kemungkinan untuk mengajukan pembatalan
Undang-Undang ke Mahkamah Konstitusi (MK), namun faktanya RAPBN-P 2012 sudah
disetujui. Persoalannya, bagaimana tindak lanjut putusan tersebut? Ada dua
pilar pokok yang harus diperhatikan. Pertama, membenahi politik anggaran.
Kedua, mengubah arah kebijakan energi. Tanpa menggarap kedua pilar tersebut,
dalam jangka menengah dan panjang, kita akan terus-menerus diombang-ambingkan
oleh fluktuasi harga minyak di pasar dunia.
Politik Anggaran
Sebenarnya, pemerintah juga berada pada posisi sulit. Karena, asumsi APBN-P 2012 dengan nilai subsidi BBM Rp137 triliun dan subsidi listrik Rp64,9 triliun itu disusun dengan skenario harga BBM naik sebesar Rp1.500. Jika harga BBM tidak bisa dinaikkan dalam waktu dekat, maka pemerintah harus menutup besaran subsidi dari pos lain. Pilihannya, dengan melakukan efisiensi pada Kementrian dan Lembaga (K/L). Meskipun begitu, jangan sampai kebijakan efisiensi anggaran tersebut justru kontraproduktif terhadap perekonomian. Karena fungsi belanja pemerintah sejatinya untuk menstimulus perekonomian.
Sehingga, jika pemotongan anggaran dilakukan, kemampuan K/L untuk memompa perekonomian menjadi terbatas. Sebaiknya pemerintah melakukan kajian terhadap kinerja K/L, dan menentukan tolok ukur keberhasilan penggunaan anggaran. Semakin buruk K/L dalam penyerapan anggaran, semakin besar potongan yang dilakukan.
Dengan begitu, efisiensi dilakukan dengan berbasis pada kinerja K/L. Selain itu, pemerintah juga bisa menggunakan Sisa Anggaran Lebih (SAL) 2010 sebesar Rp51 triliun. Atau hasil dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp25 triliun.
Secara umum, paling tidak ada dua beban besar pemerintah terhadap APBN-P 2012. Pertama, anggaran harus menjadi instrumen untuk menjaga momentum pertumbuhan yang disepakati sebesar 6,5 persen pada tahun ini. Jika pemerintah gagal memformulasikan kebijakan fiskal yang handal, maka tidak menutup kemungkinan asumsi pertumbuhan ekonomi dalam APBN-P 2012 tidak bisa dicapai. Dan itu akan menjadi catatan tersendiri bagi pertanggungjawaban presiden terhadap DPR.
Harus diakui, tantangan global masih belum boleh diremehkan. Meskipun perekonomian Amerika Serikat (AS) sudah mulai stabil, tetapi masih jauh dari posisi aman. Perekonomian AS memang tidak lagi muram (gloom), tetapi juga belum ceria betul (boom). Atau istilahnya, less gloom but no boom.
Begitu pun kawasan Uni-Eropa. Meskipun mereka hampir mencapai kesepakatan untuk mengumpulkan dana talangan hingga mencapai 1 triliun euro, tetapi berbagai kemungkinan buruk masih tetap bisa terjadi. Tantangan fiskal kedua, terkait besaran defisit.
Sebagaimana diatur UU, defisit anggaran tidak boleh melewati tiga persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Sebenarnya, prinsip ini mengikuti ketentuan yang diadopsi oleh negara-negara Uni-Eropa, atau yang dikenal sebagai Traktat Maastricht. Sekarang ini, posisi defisit anggaran pusat sebesar 2,23 persen. Jika dikonsolidasikan dengan defisit pemerintah daerah (APBD), maka besaran defisit kurang lebih 2,8 persen. Artinya, sulit menutup anggaran dengan penerbitan utang baru.
Politik Energi
Kapan pemerintah berhak menaikkan harga BBM? Dengan penambahan pasal 7 ayat 6a tersebut, pemerintah baru bisa menaikkan harga BBM jika harga rata-rata ICP sudah mencapai USD120,75 per barel.
Dengan asumsi harga minyak ICP sebesar USD105, maka rumusnya 105 + (105x15 persen) = USD120,75. Jika dihitung mulai Oktober 2011 hingga akhir Maret 2012, rata-rata harga minyak mentah Indonesia (ICP) sudah berada pada harga USD116 per barel.
Sebenarnya, skenario awal versi pemerintah yang mengusulkan kenaikan harga BBM sebesar Rp1.500 per liter (atau 33,3 persen) bukanlah sesuatu yang baru. Kita pernah mengalami beberapa kali kebijakan menaikkan harga BBM.Pada Mei 2008 pemerintah juga melakukan kebijakan menaikkan harga BBM sebesar 31 persen.
Bahkan pada 2005, kenaikan dilakukan dua kali, Maret dan Oktober. Sehingga, besaran kenaikannya sepanjang tahun mencapai tiga kali lipat atau sebesar 96,1 persen. Dampak inflasi yang ditimbulkannya pun sebenarnya tidak terlalu berat untuk tahun ini.
Menurut hitungan BPS, kenaikan harga BBM Rp1.500 per liter, dampak langsungnya pada inflasi sebesar 0,9 persen. Dan jika ditambah dengan dampak langsungnya (second round effect) sebesar dua kali dampak langsung, maka dampak inflasi tak langsungnya sebesar 1,8 persen.
Sehingga, total dampaknya mencapai 2,7 persen. Setelah dijumlahkan dengan asumsi inflasi pemerintah tahun ini sebesar 5,3 persen, maka didapat perkiraan inflasi sebesar tujuh persen.
Versi Bank Indonesia (BI) hampir sama, yaitu jika kenaikan sebesar Rp1.000, inflasi tahun ini akan menjadi sekira 6,8 persen sementara jika kenaikannya Rp1.500, inflasi akan menjadi 7,1 persen.
Sebenarnya, pemerintah juga berada pada posisi sulit. Karena, asumsi APBN-P 2012 dengan nilai subsidi BBM Rp137 triliun dan subsidi listrik Rp64,9 triliun itu disusun dengan skenario harga BBM naik sebesar Rp1.500. Jika harga BBM tidak bisa dinaikkan dalam waktu dekat, maka pemerintah harus menutup besaran subsidi dari pos lain. Pilihannya, dengan melakukan efisiensi pada Kementrian dan Lembaga (K/L). Meskipun begitu, jangan sampai kebijakan efisiensi anggaran tersebut justru kontraproduktif terhadap perekonomian. Karena fungsi belanja pemerintah sejatinya untuk menstimulus perekonomian.
Sehingga, jika pemotongan anggaran dilakukan, kemampuan K/L untuk memompa perekonomian menjadi terbatas. Sebaiknya pemerintah melakukan kajian terhadap kinerja K/L, dan menentukan tolok ukur keberhasilan penggunaan anggaran. Semakin buruk K/L dalam penyerapan anggaran, semakin besar potongan yang dilakukan.
Dengan begitu, efisiensi dilakukan dengan berbasis pada kinerja K/L. Selain itu, pemerintah juga bisa menggunakan Sisa Anggaran Lebih (SAL) 2010 sebesar Rp51 triliun. Atau hasil dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp25 triliun.
Secara umum, paling tidak ada dua beban besar pemerintah terhadap APBN-P 2012. Pertama, anggaran harus menjadi instrumen untuk menjaga momentum pertumbuhan yang disepakati sebesar 6,5 persen pada tahun ini. Jika pemerintah gagal memformulasikan kebijakan fiskal yang handal, maka tidak menutup kemungkinan asumsi pertumbuhan ekonomi dalam APBN-P 2012 tidak bisa dicapai. Dan itu akan menjadi catatan tersendiri bagi pertanggungjawaban presiden terhadap DPR.
Harus diakui, tantangan global masih belum boleh diremehkan. Meskipun perekonomian Amerika Serikat (AS) sudah mulai stabil, tetapi masih jauh dari posisi aman. Perekonomian AS memang tidak lagi muram (gloom), tetapi juga belum ceria betul (boom). Atau istilahnya, less gloom but no boom.
Begitu pun kawasan Uni-Eropa. Meskipun mereka hampir mencapai kesepakatan untuk mengumpulkan dana talangan hingga mencapai 1 triliun euro, tetapi berbagai kemungkinan buruk masih tetap bisa terjadi. Tantangan fiskal kedua, terkait besaran defisit.
Sebagaimana diatur UU, defisit anggaran tidak boleh melewati tiga persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Sebenarnya, prinsip ini mengikuti ketentuan yang diadopsi oleh negara-negara Uni-Eropa, atau yang dikenal sebagai Traktat Maastricht. Sekarang ini, posisi defisit anggaran pusat sebesar 2,23 persen. Jika dikonsolidasikan dengan defisit pemerintah daerah (APBD), maka besaran defisit kurang lebih 2,8 persen. Artinya, sulit menutup anggaran dengan penerbitan utang baru.
Politik Energi
Kapan pemerintah berhak menaikkan harga BBM? Dengan penambahan pasal 7 ayat 6a tersebut, pemerintah baru bisa menaikkan harga BBM jika harga rata-rata ICP sudah mencapai USD120,75 per barel.
Dengan asumsi harga minyak ICP sebesar USD105, maka rumusnya 105 + (105x15 persen) = USD120,75. Jika dihitung mulai Oktober 2011 hingga akhir Maret 2012, rata-rata harga minyak mentah Indonesia (ICP) sudah berada pada harga USD116 per barel.
Sebenarnya, skenario awal versi pemerintah yang mengusulkan kenaikan harga BBM sebesar Rp1.500 per liter (atau 33,3 persen) bukanlah sesuatu yang baru. Kita pernah mengalami beberapa kali kebijakan menaikkan harga BBM.Pada Mei 2008 pemerintah juga melakukan kebijakan menaikkan harga BBM sebesar 31 persen.
Bahkan pada 2005, kenaikan dilakukan dua kali, Maret dan Oktober. Sehingga, besaran kenaikannya sepanjang tahun mencapai tiga kali lipat atau sebesar 96,1 persen. Dampak inflasi yang ditimbulkannya pun sebenarnya tidak terlalu berat untuk tahun ini.
Menurut hitungan BPS, kenaikan harga BBM Rp1.500 per liter, dampak langsungnya pada inflasi sebesar 0,9 persen. Dan jika ditambah dengan dampak langsungnya (second round effect) sebesar dua kali dampak langsung, maka dampak inflasi tak langsungnya sebesar 1,8 persen.
Sehingga, total dampaknya mencapai 2,7 persen. Setelah dijumlahkan dengan asumsi inflasi pemerintah tahun ini sebesar 5,3 persen, maka didapat perkiraan inflasi sebesar tujuh persen.
Versi Bank Indonesia (BI) hampir sama, yaitu jika kenaikan sebesar Rp1.000, inflasi tahun ini akan menjadi sekira 6,8 persen sementara jika kenaikannya Rp1.500, inflasi akan menjadi 7,1 persen.
Jika
dibanding dengan periode yang lalu, secara ekonomi, kenaikan kali ini lebih
baik. Artinya, dampak makroekonominya cenderung terjaga (manageable).
Mengingat kondisi makro kita juga sedang dalam posisi bagus. Di tengah
tarik-menarik soal harga BBM, nampaknya tidak akan mempengaruhi penilaian
lembaga pemeringkat terhadap prospek perekonomian Indonesia. Standard &
Poor’s (S&P) diproyeksikan akan memberikan predikat investment grade kepada
kita, dalam beberapa bulan ke depan.
Sebagaimana
diketahui, dua lembaga pemeringkat lainnya, yaitu Fitch Ratings dan Moody’s
Investors Service, sudah memberikan predikat level investasi pada akhir tahun
lalu dan awal tahun ini. Jika ketiga lembaga pemeringkat paling besar dunia
sudah memberikan predikat tersebut, niscaya modal asing akan semakin deras
masuk ke Indonesia, sehingga bunga pinjaman surat utang bisa semakin turun.
Dengan demikian, semakin tersedia alternatif pendanaan pembangunan. Momentum
tersebut harus dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pemerintah. Salah satunya,
untuk mengembangkan politik energi yang baik. Selama ini kita terlalu bertumpu
pada energi fosil.
Sementara,
potensi sumber daya alternatif terbuka sangat lebar, karena Indonesia kaya akan
akan sumber daya air, angin dan cahaya matahari. Energi panas bumi (geotermal),
merupakan salah satu alternatif yang paling mungkin dikembangkan, mengingat
potensi panas bumi Indonesia diperkirakan sebesar 28 riub megawatt, sekira 40
persen dari potensi dunia. Nilai tersebut sama dengan 1,1 juta barel minyak per
hari.
Jika
energi panas bumi dikembangkan, paling tidak bisa untuk menghidupi Pembangkit
Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di daerah Jawa-Bali dan Sumatra. Sehingga, tak
menggantungkan pada sumber daya solar dan batu bara.Saat ini, kapasitas
terpasang PLTP baru sebesar 1.214 MW. Sudah saatnya pemerintah mengembangkan
strategi "bauran energi", yang bertujuan untuk meningkatkan
ketersediaan sumber daya energi, sekaligus menurunkan ketergantungan pada BBM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar