JawaPos 22/04/14, 00:24 WIB
Hadi Poernomo Ditetapkan Tersangka
Korupsi Pajak BCA
JAKARTA – Bisa jadi kemarin (21/4)
merupakan perayaan ulang tahun terburuk bagi mantan Ketua Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) Hadi Poernomo. Tepat pada usia 67 tahun, dia diberi ’’kado’’
berupa penetapan dirinya sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Dia diduga menyalahgunakan wewenang saat menjabat Dirjen Pajak
(2002–2004) sehingga merugikan negara Rp 375 miliar.
Status
tersebut disampaikan Ketua KPK Abraham Samad yang didampingi Wakil Ketua
Bambang Widjojanto dan Juru Bicara Johan Budi S.P. di gedung KPK kemarin.
Samad
mengungkapkan, Hadi tersandung kasus dugaan korupsi pengurusan pajak yang
diajukan Bank BCA pada 2003. Ada dua bukti yang membuat KPK menjadikan Hadi
sebagai tersangka. ’’Perbuatan melawan hukum yang dilakukan tersangka HP (Hadi
Poernomo). Yaitu, menyalahgunakan wewenang dalam menerima seluruh permohonan
keberatan wajib pajak atas surat ketetapan pajak nihil (SKPN) pajak penghasilan
(PPh) PT BCA tahun pajak 1999,’’ ujar Samad.
Pejabat asal Pamekasan, Jawa Timur, itu diduga melanggar pasal 2
ayat 1 dan/atau pasal 3 UU No 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Dia
terancam hukuman maksimal 20 tahun penjara. Samad lantas menjelaskan ihwal
keterlibatan Hadi dalam kasus tersebut. Bermula pada 2003, tepatnya 17 Juli,
Bank BCA mengajukan surat keberatan pengenaan pajak atas transaksi non-performing
loan (NPL) atau
kredit macet Rp 5,7 triliun kepada Direktorat Pajak Penghasilan (PPh) Ditjen
Pajak, Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Direktorat
PPh menanggapi dengan mengkaji mendalam sebelum mengambil keputusan. Pada 13
Maret 2004, Direktorat PPh mengirimkan surat pengantar risalah yang berisi
keberatan atas permohonan BCA tersebut kepada Hadi Poernomo selaku Dirjen
Pajak. Surat itu lengkap dengan hasil telaah. ’’Kesimpulannya, permohonan
keberatan wajib pajak Bank BCA ditolak,’’ terang Samad.
Nah,
peran Hadi mulai tampak setelah penyerahan hasil kajian itu. Pada 17 Juli 2004
atau sehari sebelum jatuh tempo bagi Dirjen Pajak untuk memberikan keputusan
final atas permohonan BCA, Hadi membuat keputusan mengejutkan. Dia balik
mengirimkan nota kepada Direktorat PPh agar mengubah kesimpulan.
Versi
Hadi, keberatan BCA diterima. Dia meminta kesimpulan yang semula menolak diubah
menjadi menerima seluruh keberatan. Namun, belum selesai bawahannya mengubah
risalah, 18 Juli 2004, Hadi justru menerbitkan surat ketetapan pajak nihil
(SKPN) sebagai tindak lanjut telah diterimanya keberatan yang diajukan BCA.
’’Di situlah peran Dirjen Pajak Saudara HP (Hadi Poernomo),’’ tambahnya.
Direktorat
PPh saat itu tentu tidak bisa membantah karena tidak cukup waktu untuk mengubah
risalahnya. Idealnya, Dirjen Pajak memberikan waktu yang relatif lama kepada
Direktorat PPh untuk menelaah ulang sebagai pembanding. Itu pun kalau risalah
terdahulu dianggap belum sempurna. ’’Tetapi, kesempatan itu tidak pernah
diberikan (Hadi). Padahal, kesimpulannya berbeda,’’ ungkap pria asal Makassar
tersebut.
Sikap
Hadi makin mencurigakan karena penyelidikan KPK mengungkap fakta baru. Beberapa
bank saat itu memiliki masalah yang sama dengan kredit macet mereka. Langkah
yang diambil juga mirip, yakni mengirimkan surat keberatan kepada Dirjen Pajak.
Anehnya, hanya keberatan BCA yang dikabulkan Hadi.
Dari
sikap tersebut, KPK mengendus perbuatan Hadi telah merugikan keuangan negara.
Jika Hadi mengikuti rekomendasi Direktorat PPh, BCA seharusnya membayar
tambahan setoran pajak ke negara Rp 375 miliar. Tetapi, uang sebanyak itu batal
masuk ke negara karena Hadi menerima keberatan BCA.
Wakil
Ketua KPK Bambang Widjojanto menambahkan, angka kerugian negara cukup besar
karena NPL memengaruhi banyak sedikitnya pajak yang harus dibayar bank. Meski
tidak menjelaskan jumlah total pajak yang harus dibayar BCA, pria yang akrab
disapa BW itu menegaskan bahwa pengaruhnya sangat besar.
’’Bukan NPL (non-performing
loan) yang bermasalah. Tetapi, kebijakan yang membuat negara
kehilangan pemasukan Rp 375 miliar,’’ terangnya.
BW
memahami bahwa kasus tersebut sudah lama terjadi. Karena itu, kata dia, KPK
butuh ketelitian dalam menyelidiki. Tim penyelidik menggandeng lima saksi ahli
dan sejumlah saksi faktual sebelum menetapkan Hadi sebagai tersangka. Terhadap
Bank BCA, KPK belum memeriksa. Tim penyelidik masih memfokuskan pada
pertanggungjawaban para penyelenggara negara.
Meski
demikian, tidak berarti manajemen BCA tidak akan bersentuhan dengan lembaga
antirasuah itu. Dia menegaskan, penetapan Hadi sebagai tersangka merupakan
langkah awal penanganan kasus tersebut. Soal siapa saja yang diperiksa serta
kemungkinan munculnya tersangka baru, dia menegaskan hal itu akan terungkap
setelah KPK melakukan berbagai pemeriksaan lanjutan.
Apakah Hadi menerima hadiah atau suap dari pengurusan keberatan
pajak BCA tersebut? BW belum bisa menjawab. Alasannya, KPK masih mendalami
materi. Termasuk, mencari nilai baku kerugian negara karena kebijakan Hadi.
’’Fokusnya potensi penyalahgunaan wewenang,’’ tegasnya.
Pembahasan
:
·
Prinsip Pertama – Tanggung Jawab Profesi
Dalam melaksanakan tanggung-jawabnya sebagai profesional
setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional
dalam semua kegiatan yang dilakukannya. Namun dalam kasus ini HP diduga menyalahgunakan wewenang saat menjabat Dirjen
Pajak (2002–2004) sehingga merugikan negara Rp 375 miliar.
·
Prinsip Kedua – Kepentingan Publik
Setiap
anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada
publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukkan komitmen atas
profesionalisme. Namun didalam kasus ini HP tidak menjalankan tugasnya dengan profesional
bahkan dia menyalahgunakan wewenangnya untuk korupsi demi kepentingan sendiri
bukan untuk kepentingan publik yang merugikan negara.
·
Prinsip Ketiga – Integritas
Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap
anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi
mungkin. Sudah terlihat jelas dengan terjadinya korupsi atas penggelapan pajak BCA ini bahwa HP tidak
memenuhi tanggungjawabnya dan tidak memiliki integritas yang tinggi.
·
Prinsip Keempat – Obyektivitas
Setiap anggota harus menjaga obyektivitasnya dan bebas dari
benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya. Dalam kasus ini
HP telah terbentur dengan kepentingannya sendiri seakan lupa dengan
kewajibannya yang harus bertanggungjawab dan profesional dalam pekerjaannya.
·
Prinsip Kelima – Kompetensi dan
Kehati-hatian Profesional
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya kehati-hatian,
kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan
pengetahuan dan keterampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk
memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa
profesional yang kompeten berdasarkan perkembangan praktik, legislasi dan
teknik yang paling mutakhir. Dalam kasus ini, HP tidak melaksanakan jasa
profesional kehati-hatian dan kompentensinya untuk menjalankan tugas, bahkan HP
terlihat memberikan
keputusan final atas permohonan BCA dimana dia meminta kesimpulan yang semula
menolak diubah menjadi menerima seluruh keberatan pajak BCA.
·
Prinsip Keenam – Kerahasiaan
Setiap
anggota harus, menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama
melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi
tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional
atau hukum untuk mengungkapkannya. Dalam kasus ini Hadi
justru menerbitkan surat ketetapan pajak nihil (SKPN) sebagai tindak lanjut
telah diterimanya keberatan yang diajukan BCA.
·
Prinsip Ketujuh – Perilaku Profesional
Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan
reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan
profesi. Prilaku HP dalam kasus ini tidak menunjukan prilaku profesional karena
telah menyalahgunakan wewenangnya.
·
Prinsip Kedelapan – Standar Teknis
Setiap
anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan
standar proesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan
berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari
penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan
obyektivitas. HP tidak mengikuti undang-undang yang berlaku sehingga tidak
menunjukkan sikap profesionalnya sesuai standar teknis dan standar profesional
yang relevan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar