Kamis, 26 Desember 2013

Tulisan 11

Perlambatan ekonomi terus hantui Indonesia

Merdeka.com - Ekonomi Indonesia tengah kelabu. Perlambatan ekonomi sudah menimpa sejak tahun lalu. Pertumbuhan ekonomi 2012 hanya mampu mencapai 6,23 persen, jauh di bawah pencapaian saat 2011 sebesar 6,5 persen.
Perlambatan ekonomi ini tak lepas dari pengaruh ekonomi global di mana krisis Eropa dan Amerika membawa imbas hingga ke negara dunia ketiga seperti Indonesia. Konsumsi dunia yang menurun membuat kinerja ekspor nasional melambat. Kondisi Perlambatan ekonomi sudah menimpa sejak tahun lalu. Pertumbuhan ekonomi 2012 hanya mampu mencapai 6,23 persen, jauh di bawah pencapaian saat 2011 sebesar 6,5 persen.
Perlambatan ekonomi ini tak lepas dari pengaruh ekonomi global di mana krisis Eropa dan Amerika membawa imbas hingga ke negara dunia ketiga seperti Indonesia. Konsumsi dunia yang menurun membuat kinerja ekspor nasional melambat.Hingga triwulan III tahun ini, ekonomi Indonesia terus menunjukkan penurunan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan III 2013 melambat ke level 5,6 persen dibanding triwulan II 2013 yang berada di angka 5,8 persen.
Menteri Keuangan Chatib Basri mengaku khawatir jika ekonomi Indonesia tumbuh terlalu tinggi tahun ini. Menurut Chatib pertumbuhan ekonomi 5,6 persen sampai 5,9 persen adalah pertumbuhan yang normal.
Chatib khawatir jika ekonomi Indonesia tumbuh 7 persen tahun ini maka impor akan semakin membludak. "2013-2014 ekonomi global lebih ketat. Kalau tumbuh 6 persen saya khawatir kalau kuat begitu impor akan tinggi sekali," ucap Chatib.
Maka dari itu pemerintah merevisi turun pertumbuhan ekonomi nasional dalam asumsi makro Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP). Pemerintah dalam APBN sebelumnya pede dengan mematok pertumbuhan ekonomi tinggi di angka 6,8 persen. Pada akhirnya, di APBNP, pemerintah memotong pertumbuhan menjadi hanya 6,3 persen.
Pemerintah juga menyiapkan empat paket stimulus ekonomi untuk mengantisipasi gejolak perekonomian global. Paket stimulus ini memiliki tujuan masing-masing yakni memperbaiki neraca transaksi berjalan dan menjaga nilai tukar Rupiah, menjaga pertumbuhan ekonomi, menjaga daya beli masyarakat dan tingkat inflasi, serta mempercepat investasi.
Untuk menyelaraskan, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) turut menelurkan kebijakan stimulusnya. Bank sentral menetapkan untuk terus meningkatkan pasokan valas dan manajemen likuiditas Rupiah dengan menerbitkan Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI). Sementara, OJK mengeluarkan paket stimulus untuk terus menjaga harga saham.
Apa yang diinginkan pemerintah sesuai dengan apa yang diprediksi sejumlah lembaga internasional. Bank Dunia meramalkan bahwa ekonomi Indonesia tahun depan hanya akan tumbuh 5,3 persen. Itu lebih lambat ketimbang perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini sebesar 5,6 persen.
Alasan lembaga keuangan internasional ini menurunkan pertumbuhan ekonomi di Tanah Air, disebabkan turunnya investasi di bidang alat berat maupun mesin-mesin. Oleh sebab itu, Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia, Rodrigo Chavez, menyatakan pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan buat menarik investasi. Sebab, sejauh ini stimulus utama yang menonjol berasal dari bidang moneter, misalnya kenaikan Suku Bunga Acuan (BI Rate).
Selain itu, Indonesia juga membutuhkan reformasi struktural untuk meningkatkan kinerja ekspor dan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. "Indonesia memerlukan lebih banyak investasi. Kebijakan moneter sebaiknya tidak menjadi respon dominan," ujarnya.
Rodrigo mengingatkan bahwa tahun depan, Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) hampir pasti mengurangi atau bahkan menghapus stimulus di pasar modal sedunia. Pasar keuangan Indonesia, meski sudah bersiap-siap, diramalkan akan mengalami periode kesulitan mencari dana eksternal.
Beruntungnya Indonesia pada tahun depan menghadapi pemilihan umum (pemilu). Peneliti Pusat Penelitian (P2) Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Maxensius Tri Sambodo menjelaskan konsumsi domestik jelang pemilu masih menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi tahun depan.
"Kita masih optimis di atas 5,5 persen bisa kita capai, bahkan mungkin mendekati 6 persen. Kita harapkan konsumsi domestik kita dari spending pemilu," kata Maxensius.
Menurut Maxensius, persiapan logistik jelang pemilu selalu menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi di tahun pemilu, asal, situasi keamanan kondusif.
"Tapi syaratnya itu kondusif. Karena menjelang pemilu itu orang spending banyak ya, bikin kaos, bikin sablon, kertas, multiplier effect nya banyak dari persiapan logistik pemilu dan itu bisa menjadi andalan kita," tutur Maxensius.
Namun yang musti diingat, roda pertumbuhan Indonesia disokong oleh 4 sektor utama. Meski salah satunya yakni konsumsi domestik kuat, namun 3 lainnya yaitu ekspor, investasi, dan belanja pemerintah tidak boleh lengah hingga dilupakan.
Apakah pemerintah bakal tetap konsisten menjaga kinerja perekonomian menjelang pemilu ataukah justru dilupakan karena fokus pada kepentingan partai masing-masing? Peran serta masyarakat dalam pengawasan tentu penting ada sebelum nantinya memberikan suara.
Kesimpulan : Perlambatan ekonomi sudah menimpa sejak tahun lalu. Pertumbuhan ekonomi 2012 hanya mampu mencapai 6,23 persen, jauh di bawah pencapaian saat 2011 sebesar 6,5 persen. Perlambatan ekonomi ini tak lepas dari pengaruh ekonomi global di mana krisis Eropa dan Amerika membawa imbas hingga ke negara dunia ketiga seperti Indonesia. Konsumsi dunia yang menurun membuat kinerja ekspor nasional melambat. Perlambatan ekonomi sudah menimpa sejak tahun lalu. Pertumbuhan ekonomi 2012 hanya mampu mencapai 6,23 persen, jauh di bawah pencapaian saat 2011 sebesar 6,5 persen.

Perlambatan ekonomi ini tak lepas dari pengaruh ekonomi global di mana krisis Eropa dan Amerika membawa imbas hingga ke negara dunia ketiga seperti Indonesia. Konsumsi dunia yang menurun membuat kinerja ekspor nasional melambat. Selain itu, Indonesia juga membutuhkan reformasi struktural untuk meningkatkan kinerja ekspor dan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. "Indonesia memerlukan lebih banyak investasi. Kebijakan moneter sebaiknya tidak menjadi respon dominan,"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar